Kamis, 22 Mei 2014

Jadi Tersangka Pencemaran Nama Baik, Olga Syahputra Diperiksa

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Olga Syahputra memenuhi panggilan penyidik Polda Metro Jaya terkait dugaan kasus perbuatan tidak menyenangkan dan fitnah terhadap seorang wanita bernama Febby Karina.

"OG (Olga) memenuhi panggilan untuk menjalani pemeriksaan sebagai tersangka," kata Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Polisi Rikwanto di Jakarta Selasa.

Kombes Rikwanto mengatakan Olga menjalani pemeriksaan di Subdirektorat Keamanan Negara Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya.

Rikwanto menambahkan, awalnya penyidik mengagendakan pemeriksaan Olga pada Kamis (3/10), namun pembawa acara itu datang bersama pengacaranya ke Polda Metro Jaya pada Selasa.

Sebelumnya, seorang dokter bernama Febby Karina melaporkan Olga Syahputra ke Polda Metro Jaya perihal dugaan kasus pencemaran nama baik, fitnah, perbuatan tidak menyenangkan atau tindak pidana berdasarkan Undang-Undang Informasi Transaksi Elektronik (ITE) pada 19 Juni 2013.

Febby mengadukan Olga berdasarkan Laporan Polisi Nomor : LP/2077/IV/2013/PMJ/Dit Reskrimum dengan jeratan Pasal 310 KUHP, Pasal 311 KUHP, Pasal 335 KUHP dan Pasal 27 ayat (3) juncto Pasal 45 ayat (1) UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE.

Rikwanto mengungkapkan awalnya saksi Kartika meminta Febby mendatangi studio salah satu stasiun televisi untuk perawatan di kawasan Epicentrum Rasuna Said Jakarta Selatan, 23 Mei 2013. Namun, Kartika menarik paksa Febby saat acara "Pesbukers" berlangsung secara langsung.

Olga yang menjadi salah satu pemeran dalam acara tersebut, menyebutkan Febby "milik" saksi Yudi. Rikwanto menuturkan Olga menuduh Febby pura-pura menjadi dokter padahal diajak Yudi datang ke lokasi.

Bahkan Olga menyatakan Yudi pernah mengajak makan Febby hingga selingkuh pulang pukul 23.00 WIB. "OG juga memfitnah pelapor (Febby) membuat rumah tangga Yudi kacau," ujar Rikwanto.




AKHIR CERITA KASUS GUGATAN PERDATA TERHADAP PRITA MULYASARI

Oleh : Wasis Priyanto
Masih ingat dengan kasus Prita Mulyasai, Kasus ini berawal dari keluhannya di internet, di mana Prita mencurahkan pengalamannya yang tidak mendapatkan pelayanan maksimal selama dirawat di rumah sakit itu.Surat elektronik itu menyebarluas tak terkendali di dunia maya, yang kemudian membuat RS kalang kabut. Akhirnya Prita Mulyasari dilapor secara pidana dan juga di gugat secara perdata.
Dalam kasus pidananya Prita didakwa telah melanggar UU ITE terkait testimoninya atas ketidakpuasannya terhadap RS Omni International Alam Sutra, Tangerang. Namun Prita Mulyasari yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga itu divonis bebas oleh PN Tangerang. Lebih lanjut dalam tulisan ini tidak akan dibahas mengenai kasus pidananya.
Selain dilaporkan secara pidana, Sdri Prita Mulyasari mendapat tuntutan perdata, dari RS Omni Internasional tersebut, dan dalam petitum gugatan penggugat meminta tuntutan ganti rugi sebesar Rp 559.623.064.960,- (lima ratus lima puluh Sembilan milyar enam ratus dua puluh tiga juta enam puluh empat ribu Sembilan ratus enam puluh rupiah).
Dalam kasus perdata ini, sdr. Prita Mulyasari diposisikan sebagai pihak Tergugat, sedangkan untuk Pihak Penggugat terdiri dari Penggugat I yaitu Pengelola Rumah Sakit, Penggugat II adalah Dokter yang merawat dan Penggugat III adalah Penanggung Jawab atas keberatan atas pelayanan Rumah Sakit.
Pada intinya Para Penggugat merasa dirugikan atas tindakan sdri.Prita Mulyasari yang tidak cukup menyampaikan keluhan dengan mengisi lembar " masukan dan saran", tetapi ternyata Tergugat membuat surat elektronik terbuka pada situs dengan judul "penipuan Omni Internasional Hospital Alam Sutera Tangerang" dan "manajemen Omni Pembohong besar semua" dan "saya informasikan juga Penggugat II pratik di di RSCM juga, saya tidak mengatakan RSCM buruk tetapi hati-hati dengan perawatan medis dokter ini" serta "tanggapan Penggugat III yang katanya adalah Penanggung jawab masalah complain saya ini tidak professional sama sekali…." Dan " tidak ada sopan santun dan etika mengenai pelayanan customer…." Yang disebarkan keberbagai email.
Akibat pengiriman email tersebut, Para penggugat merasa dirugikan dan tercemar nama baiknya.
Perkara Perdata tersebut di sidang di Pengadilan Negeri Tangerang dengan nomor register perkara Nomor 300/PDT.G/2008/PN.TNG. Atas perkara tersebut Majelis Hakim Pengadilan Negeri tangerang pada tanggal 11 Mei 2009 telah menjatuhkan putusan yang mana pada pokoknya :
Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian
Menyatakan Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum terhadap para penggugat
Menghukum Tergugat untuk membayar ganti kerugian sebesar Rp 314.268.360,- (tiga ratus empat belas juta dua ratus enam puluh delapan ribu tiga ratus enam puluh rupiah)…
Dst….
Atas putusan tersebut Tergugat mengajukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi Banten. Ditingkat banding perkara Perdata gugatan terhadap prita mendapat nomor register perkara Nomor 71/Pdt/2009/PT.Btn. Pada tanggal 08 Sepetember 2009 Majelis Hakim pengadilan Tinggi banten menjatuhkan putusan yang pada pokoknya menguatkan putusan PN Tangerang, namun dengan perbaikan sekedar mengenai Kehilangan keuntungan dan besarnya ganti rugi.
Dalam putusan Pengadilan Tinggi Banten di sebutkan secara terpisah nilai ganti kerugian yang harus ditanggung tergugat baik secara materiiil dan immaterial. Secara materiil Tergugat harus membayar ganti rugi sebesar Rp 164.286.380,- (seratus enam puluh empat juta dua ratus delapan puluh enam ribu tiga ratus delapan puluh rupiah) dang anti rugi immaterial sebesar Rp 40.000.000,- (empat puluh juta rupiah);
Tergugat tidak menerima putusan banding tersebut dan mengajukan upaya hukum Kasasi. Dalam pemeriksaan tingkat kasasi perkara mendapat nomor register 300K/pdt/2010. Majelis Hakim tingkat kasasi pada tanggal 29 Sepetember 2010 telah menjatuhkan putusan yang pada pokoknya Mengabulkan permohonan kasasi dan membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Banten.
Majelis Hakim tingkat Kasasi dalam putusannya adalah menolak seluruh gugatan dari Para Penggugat. Yang menarik dari perkara Prita Tersebut ada beberpa kaidah hukum yang bisa ditarik, yaitu diantarannya sebagai berikut :
Bahwa mengungkap sebuah perasaan berupa keluhan tentang apa yang telah dialami selama menjalani proses pengobatan, baik berupa pelayanan selama di rawat inap maupun tindakan medis lainnya selama berada di rumah sakit yang dituangkan dalam sebuah email lalu disebar luaskan melalui email kealamat email kawan-kawannya, tidaklah kemudian lalu dapat dipandang sebagai perbuatan melawan hukum;
Bahwa tindakan mengirim atau menyebarkan email yang berisi keluhan tersebut kepada kawan-kawannya, juga bukan merupakan sebuah penghinaan, oleh karena hal tersebut bukan dimaksudkan untuk menyerang pribadi seseorang atau instansi, melainkan hal tersebut adalah merupakan sebuah kenyataan atau fakta tentang apa yang dialami berkenaan dengan pelayanan medis;
Bahwa email adalah merupakan sebuah media komunikasi yang bersifat personal dan tertutup dan hanya orang-orang tertentu saja yang dapat mengakses dan membacanya, dengan demikian bukan merupakan media yang bersifat umum dimana setiap orang dapat membuka dan membacanya, seperti media umum lainnya;
Bahwa mengeluh sebuah pelayanan medis dengan menggunakan surat elektronik terbuka pada sebuah situs, lalu mengirimkan hal tersebut kepada kawan-kawannya melalui email, masih dianggap dan dinilai dalam batas-batas kewajaran dalam kerangka penyampaian informasi dengan menggunakan jenis saluran yang tersedia;
Bahwa hak untuk menyampaikan informasi melalui berbagai media, secara konstitusional telah diakui dan dijamin dalam pasal 28 F UUD 1945 yang menentukan bahwa " setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia'
Bahwa adanya putusan hakim pidana yang telah menyatakan terdakwa dibebaskan dari tindak pencemaran nama baik, terkait dengan gugatan perdata, putusan pidana tersebut dapat dijadikan bahan dan dipakai sebagai salah satu dasar/ alasan untuk menentukan bahwa perbuatan yang dilakukan tersebut bukanlah sifat melawan hukum, sehingga dapat membebaskan dirinya dari adannya tuntutan ganti rugi secara perdata atas gugatan pencemaran nama baik/perbuatan melawan hukum.




Jumat, 16 Mei 2014

Print Screen Bisa Jadi Alat Bukti Pencemaran Nama Baik


Pasal 5 UU ITE memberikan dasar penerimaan alat bukti elektronik dalam hukum acara di Indonesia. Pasal 5 ayat (1) UU ITE memberikan dasar hukum bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya ialah merupakan alat bukti hukum yang sah. Dari ketentuan ini maka alat bukti dapat dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu:
1.    Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik
2.    Hasil cetak dari Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik

Lebih lanjut, Pasal 5 ayat (2) UU ITE menegaskan bahwa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya... merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.” Ketentuan ini menegaskan bahwa alat bukti elektronik telah diterima dalam sistem hukum pembuktian di Indonesia di berbagai peradilan, seperti peradilan pidana, perdata, agama, militer, tata usaha negara, mahkamah konstitusi, termasuk arbitrase.  

UU ITE tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan “perluasan dari alat bukti yang sah”. Akan tetapi, Pasal 5 ayat (2) UU ITE memberikan petunjuk penting mengenai perluasan ini, yaitu bahwa perluasan tersebut harus “…sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. Perluasan tersebut mengandung makna:
1.     mengatur sebagai alat bukti lain, yaitu menambah jumlah alat bukti yang diatur dalam Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”).Yang dimaksud dengan alat bukti Elektronik ialah Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik. Hal alat bukti elektronik sebagai alat bukti laindalam hukum acara pidana dipertegas dalamPasal 44 UU ITE yang mengatur bahwa Informasi atau Dokumen Elektronik adalah alat bukti lain.
2.     memperluas cakupan atau ruang lingkup alat bukti yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP. Alat bukti dalam KUHAP yang diperluas ialah alat bukti surat. Hasil cetak dari Informasi atau Dokumen Elektronik dikategorikan sebagai surat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 187 KUHAP.  

Dengan demikian dapat kami simpulkan, print screen kata-kata atau kalimat dalam social media. Rekan dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah dalam persidangan sepanjang bukti tersebut secara teknis dapat dipertanggungjawabkan otentitasnya.