Kamis, 22 Mei 2014

Jadi Tersangka Pencemaran Nama Baik, Olga Syahputra Diperiksa

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Olga Syahputra memenuhi panggilan penyidik Polda Metro Jaya terkait dugaan kasus perbuatan tidak menyenangkan dan fitnah terhadap seorang wanita bernama Febby Karina.

"OG (Olga) memenuhi panggilan untuk menjalani pemeriksaan sebagai tersangka," kata Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Polisi Rikwanto di Jakarta Selasa.

Kombes Rikwanto mengatakan Olga menjalani pemeriksaan di Subdirektorat Keamanan Negara Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya.

Rikwanto menambahkan, awalnya penyidik mengagendakan pemeriksaan Olga pada Kamis (3/10), namun pembawa acara itu datang bersama pengacaranya ke Polda Metro Jaya pada Selasa.

Sebelumnya, seorang dokter bernama Febby Karina melaporkan Olga Syahputra ke Polda Metro Jaya perihal dugaan kasus pencemaran nama baik, fitnah, perbuatan tidak menyenangkan atau tindak pidana berdasarkan Undang-Undang Informasi Transaksi Elektronik (ITE) pada 19 Juni 2013.

Febby mengadukan Olga berdasarkan Laporan Polisi Nomor : LP/2077/IV/2013/PMJ/Dit Reskrimum dengan jeratan Pasal 310 KUHP, Pasal 311 KUHP, Pasal 335 KUHP dan Pasal 27 ayat (3) juncto Pasal 45 ayat (1) UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE.

Rikwanto mengungkapkan awalnya saksi Kartika meminta Febby mendatangi studio salah satu stasiun televisi untuk perawatan di kawasan Epicentrum Rasuna Said Jakarta Selatan, 23 Mei 2013. Namun, Kartika menarik paksa Febby saat acara "Pesbukers" berlangsung secara langsung.

Olga yang menjadi salah satu pemeran dalam acara tersebut, menyebutkan Febby "milik" saksi Yudi. Rikwanto menuturkan Olga menuduh Febby pura-pura menjadi dokter padahal diajak Yudi datang ke lokasi.

Bahkan Olga menyatakan Yudi pernah mengajak makan Febby hingga selingkuh pulang pukul 23.00 WIB. "OG juga memfitnah pelapor (Febby) membuat rumah tangga Yudi kacau," ujar Rikwanto.




AKHIR CERITA KASUS GUGATAN PERDATA TERHADAP PRITA MULYASARI

Oleh : Wasis Priyanto
Masih ingat dengan kasus Prita Mulyasai, Kasus ini berawal dari keluhannya di internet, di mana Prita mencurahkan pengalamannya yang tidak mendapatkan pelayanan maksimal selama dirawat di rumah sakit itu.Surat elektronik itu menyebarluas tak terkendali di dunia maya, yang kemudian membuat RS kalang kabut. Akhirnya Prita Mulyasari dilapor secara pidana dan juga di gugat secara perdata.
Dalam kasus pidananya Prita didakwa telah melanggar UU ITE terkait testimoninya atas ketidakpuasannya terhadap RS Omni International Alam Sutra, Tangerang. Namun Prita Mulyasari yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga itu divonis bebas oleh PN Tangerang. Lebih lanjut dalam tulisan ini tidak akan dibahas mengenai kasus pidananya.
Selain dilaporkan secara pidana, Sdri Prita Mulyasari mendapat tuntutan perdata, dari RS Omni Internasional tersebut, dan dalam petitum gugatan penggugat meminta tuntutan ganti rugi sebesar Rp 559.623.064.960,- (lima ratus lima puluh Sembilan milyar enam ratus dua puluh tiga juta enam puluh empat ribu Sembilan ratus enam puluh rupiah).
Dalam kasus perdata ini, sdr. Prita Mulyasari diposisikan sebagai pihak Tergugat, sedangkan untuk Pihak Penggugat terdiri dari Penggugat I yaitu Pengelola Rumah Sakit, Penggugat II adalah Dokter yang merawat dan Penggugat III adalah Penanggung Jawab atas keberatan atas pelayanan Rumah Sakit.
Pada intinya Para Penggugat merasa dirugikan atas tindakan sdri.Prita Mulyasari yang tidak cukup menyampaikan keluhan dengan mengisi lembar " masukan dan saran", tetapi ternyata Tergugat membuat surat elektronik terbuka pada situs dengan judul "penipuan Omni Internasional Hospital Alam Sutera Tangerang" dan "manajemen Omni Pembohong besar semua" dan "saya informasikan juga Penggugat II pratik di di RSCM juga, saya tidak mengatakan RSCM buruk tetapi hati-hati dengan perawatan medis dokter ini" serta "tanggapan Penggugat III yang katanya adalah Penanggung jawab masalah complain saya ini tidak professional sama sekali…." Dan " tidak ada sopan santun dan etika mengenai pelayanan customer…." Yang disebarkan keberbagai email.
Akibat pengiriman email tersebut, Para penggugat merasa dirugikan dan tercemar nama baiknya.
Perkara Perdata tersebut di sidang di Pengadilan Negeri Tangerang dengan nomor register perkara Nomor 300/PDT.G/2008/PN.TNG. Atas perkara tersebut Majelis Hakim Pengadilan Negeri tangerang pada tanggal 11 Mei 2009 telah menjatuhkan putusan yang mana pada pokoknya :
Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian
Menyatakan Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum terhadap para penggugat
Menghukum Tergugat untuk membayar ganti kerugian sebesar Rp 314.268.360,- (tiga ratus empat belas juta dua ratus enam puluh delapan ribu tiga ratus enam puluh rupiah)…
Dst….
Atas putusan tersebut Tergugat mengajukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi Banten. Ditingkat banding perkara Perdata gugatan terhadap prita mendapat nomor register perkara Nomor 71/Pdt/2009/PT.Btn. Pada tanggal 08 Sepetember 2009 Majelis Hakim pengadilan Tinggi banten menjatuhkan putusan yang pada pokoknya menguatkan putusan PN Tangerang, namun dengan perbaikan sekedar mengenai Kehilangan keuntungan dan besarnya ganti rugi.
Dalam putusan Pengadilan Tinggi Banten di sebutkan secara terpisah nilai ganti kerugian yang harus ditanggung tergugat baik secara materiiil dan immaterial. Secara materiil Tergugat harus membayar ganti rugi sebesar Rp 164.286.380,- (seratus enam puluh empat juta dua ratus delapan puluh enam ribu tiga ratus delapan puluh rupiah) dang anti rugi immaterial sebesar Rp 40.000.000,- (empat puluh juta rupiah);
Tergugat tidak menerima putusan banding tersebut dan mengajukan upaya hukum Kasasi. Dalam pemeriksaan tingkat kasasi perkara mendapat nomor register 300K/pdt/2010. Majelis Hakim tingkat kasasi pada tanggal 29 Sepetember 2010 telah menjatuhkan putusan yang pada pokoknya Mengabulkan permohonan kasasi dan membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Banten.
Majelis Hakim tingkat Kasasi dalam putusannya adalah menolak seluruh gugatan dari Para Penggugat. Yang menarik dari perkara Prita Tersebut ada beberpa kaidah hukum yang bisa ditarik, yaitu diantarannya sebagai berikut :
Bahwa mengungkap sebuah perasaan berupa keluhan tentang apa yang telah dialami selama menjalani proses pengobatan, baik berupa pelayanan selama di rawat inap maupun tindakan medis lainnya selama berada di rumah sakit yang dituangkan dalam sebuah email lalu disebar luaskan melalui email kealamat email kawan-kawannya, tidaklah kemudian lalu dapat dipandang sebagai perbuatan melawan hukum;
Bahwa tindakan mengirim atau menyebarkan email yang berisi keluhan tersebut kepada kawan-kawannya, juga bukan merupakan sebuah penghinaan, oleh karena hal tersebut bukan dimaksudkan untuk menyerang pribadi seseorang atau instansi, melainkan hal tersebut adalah merupakan sebuah kenyataan atau fakta tentang apa yang dialami berkenaan dengan pelayanan medis;
Bahwa email adalah merupakan sebuah media komunikasi yang bersifat personal dan tertutup dan hanya orang-orang tertentu saja yang dapat mengakses dan membacanya, dengan demikian bukan merupakan media yang bersifat umum dimana setiap orang dapat membuka dan membacanya, seperti media umum lainnya;
Bahwa mengeluh sebuah pelayanan medis dengan menggunakan surat elektronik terbuka pada sebuah situs, lalu mengirimkan hal tersebut kepada kawan-kawannya melalui email, masih dianggap dan dinilai dalam batas-batas kewajaran dalam kerangka penyampaian informasi dengan menggunakan jenis saluran yang tersedia;
Bahwa hak untuk menyampaikan informasi melalui berbagai media, secara konstitusional telah diakui dan dijamin dalam pasal 28 F UUD 1945 yang menentukan bahwa " setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia'
Bahwa adanya putusan hakim pidana yang telah menyatakan terdakwa dibebaskan dari tindak pencemaran nama baik, terkait dengan gugatan perdata, putusan pidana tersebut dapat dijadikan bahan dan dipakai sebagai salah satu dasar/ alasan untuk menentukan bahwa perbuatan yang dilakukan tersebut bukanlah sifat melawan hukum, sehingga dapat membebaskan dirinya dari adannya tuntutan ganti rugi secara perdata atas gugatan pencemaran nama baik/perbuatan melawan hukum.




Jumat, 16 Mei 2014

Print Screen Bisa Jadi Alat Bukti Pencemaran Nama Baik


Pasal 5 UU ITE memberikan dasar penerimaan alat bukti elektronik dalam hukum acara di Indonesia. Pasal 5 ayat (1) UU ITE memberikan dasar hukum bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya ialah merupakan alat bukti hukum yang sah. Dari ketentuan ini maka alat bukti dapat dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu:
1.    Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik
2.    Hasil cetak dari Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik

Lebih lanjut, Pasal 5 ayat (2) UU ITE menegaskan bahwa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya... merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.” Ketentuan ini menegaskan bahwa alat bukti elektronik telah diterima dalam sistem hukum pembuktian di Indonesia di berbagai peradilan, seperti peradilan pidana, perdata, agama, militer, tata usaha negara, mahkamah konstitusi, termasuk arbitrase.  

UU ITE tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan “perluasan dari alat bukti yang sah”. Akan tetapi, Pasal 5 ayat (2) UU ITE memberikan petunjuk penting mengenai perluasan ini, yaitu bahwa perluasan tersebut harus “…sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. Perluasan tersebut mengandung makna:
1.     mengatur sebagai alat bukti lain, yaitu menambah jumlah alat bukti yang diatur dalam Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”).Yang dimaksud dengan alat bukti Elektronik ialah Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik. Hal alat bukti elektronik sebagai alat bukti laindalam hukum acara pidana dipertegas dalamPasal 44 UU ITE yang mengatur bahwa Informasi atau Dokumen Elektronik adalah alat bukti lain.
2.     memperluas cakupan atau ruang lingkup alat bukti yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP. Alat bukti dalam KUHAP yang diperluas ialah alat bukti surat. Hasil cetak dari Informasi atau Dokumen Elektronik dikategorikan sebagai surat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 187 KUHAP.  

Dengan demikian dapat kami simpulkan, print screen kata-kata atau kalimat dalam social media. Rekan dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah dalam persidangan sepanjang bukti tersebut secara teknis dapat dipertanggungjawabkan otentitasnya.


Rabu, 23 April 2014

PERS DAN PASAL PENCEMARAN NAMA BAIK

sumber: http://rektivoices.wordpress.com/2009/10/23/pers-dan-pasal-pencemaran-nama-baik/
Pemberlakuan pasal fitnah, penghinaan dan pencemaran nama baik dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau KUHP, sering disorot tajam oleh para praktisi hukum dan praktisi jurnalistik karena dinilai banyak menghambat kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat, khususnya bagi Pers.
Seiring pembahasan RKUHP, muncul tuntutan dari beberapa kalangan agar pasal pencemaran nama baik dalam KUHP dicabut, antara lain karena pasal tersebut dianggap ‘pasal karet’ yang dapat dijadikan alat represif untuk membungkam kebebasan berpendapat. Disebut pasal karet karena memang sampai kini belum ada definisi hukum di Indonesia yang tepat tentang ‘apa’ yang disebut dengan pencemaran nama baik sehingga bisa jadi pasal ini ditafsirkan secara subjektif. Menurut frase (bahasa Inggris), pencemaran nama baik diartikan sebagai defamation, slander, libel yang dalam bahasa Indonesia (Indonesian translation) diterjemahkan menjadi pencemaran nama baik, fitnah (lisan), fitnah (tertulis). Slander adalah oral defamation (fitnah secara lisan) sedangkan Libel adalah written defamation (fitnah secara tertulis). Dalam bahasa Indonesia belum ada istilah untuk membedakan antara slander dan libel. Meskipun masih dalam perdebatan, ketentuan-ketentuan tentang penghinaan yang terdapat dalam Bab XVI, Buku II KUHP masih relevan, oleh karena itu, sebenarnya pasal ini tidak perlu dicabut. Cukup direvisi dengan diperjelas tafsir dari pencemaran nama baik itu sendiri.
Ketakutan yang lain dari pemberalakuan pasal pencemaran nama baik antara lain adalah bahwa pasal tersebut dijadikan alat untuk mengkriminalisasikan pers. Penerapan pasal mengenai pencemaran nama baik di Indonesia memang sangat rancu. Pers ataupun individu yang dituduh mencemarkan nama baik dapat terkena pasal pidana maupun perdata. Kebanyakan jika penggugat menang dalam perdata, putusan perdata akan digunakan untuk mengintimidasi di pidana juga, begitu pun sebaliknya.
Parahnya, ketika terjadi delik pers, para praktisi hukum seperti polisi, hakim, jaksa, pengacara, atau pun masyarakat umumnya tidak memiliki kesamaan pendapat dalam menjelesaikan kasus pers. Apakah menggunakan Undang-Undang No. 40/1999 (UU Pokok Pers) atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)? Ketidakseragaman pendapat tersebut terbukti dengan adanya beberapa kasus pers yang diselesaikan melalui mekanisme Hak Jawab sesuai UU Pers. Tetapi, ada juga kasus pers diselesaikan lewat pengadilan pidana.
Pasal 5 ayat A2 UU Pers menyebutkan pers berkewajiban melayani hak jawab dan hak koreksi serta menarik berita atau tulisan yang salah. Perusahaan pers yang melanggar ketentuan ini diancam hukuman denda paling besar Rp500 juta. Dalam prakteknya, pelaksanaan aturan hak jawab dalam UU Pers menghadapi masalah. Jika media memberikan hak jawab kepada pihak yang dirugikan oleh suatu pemberitaan, hal itu tidak menutup kemungkinan korban menggugat atau mengadukan kasusnya ke pengadilan. Maka revisi yang perlu diusulkan adalah, harus dengan tegas menyatakan “Jika media sudah menarik kembali berita yang keliru, meminta maaf atau memberikan hak jawab, maka kasus pencemaran nama baik dapat digugat perdata ke pengadilan, tapi tidak disertai hukuman pidana”.
Masyarakat pers Indonesia sendiri terpecah dua dalam memperjuangkan kebebasan pers. Ada yang setuju UU Pers sebagai Lex Specialis, namun ada pula yang tidak. Ada pula kalangan menginginkan agar UU Pokok Pers direvisi, agar dapat benar-benar berperan sebagai Lex Specialis untuk perkara-perkara yg melibatkan pers.
Gagasan merevisi UU Pers ini tentu sangat tidak populer, terutama di kalangan pers. Namun perlu dipahami bahwa Revisi UU Pers tidak semata-mata bermaksud mengurangi kebebasan pers dan meningkatkan kontrol terhadap pers. Justru sebaliknya. Hal-hal yang selama ini dirasa mengganggu, dapat diatasi dengan Revisi UU Pers. Misalnya, Pasal 7 UU Pers menyebutkan bahwa setiap wartawan wajib memiliki dan mentaati kode etiknya. Menurut penulis, pasal ini justru harus dihapus, karena berkaitan dengan kode etik, dan kode etik adalah urusan organisasi profesi.
Di lain pihak, ada beberapa hal yang perlu diakomodasikan dalam UU Pers, misalnya obscenity dan indecency. Jangan sampai ada lagi anggota Dewan Pers mengatakan bahwa tabloid porno dan yellow paper itu bukan pers. Itu selebaran. Pernyataan ini menunjukkan bahwa pers ‘angkat tangan’ atau ‘cuci tangan’. Padahal, tidak benar bahwa pers adalah hanya koran/majalah seperti Kompas dan Tempo. Menurut UU Pers juga, pers adalah wahana komunikasi massa yang menyampaikan informasi kepada masyarakat dalam bentuk gambar, suara, tulisan (Bab I, Pasal 1, butir 1, UU Pokok Pers). Menganggapnya sebagai ‘bukan pers’ adalah sikap yang kurang bertanggungjawab.
Hal lain yang perlu diakomodasikan dalam Revisi UU Pers adalah kasus-kasus yang selama ini berada di luar UU Pers sehingga ‘terpaksa’ digunakan pasal KUHP dan menyebabkan UU Pers tak bisa dipakai sebagai lex specialis. Isu-isu itu antara lain: pencemaran nama baik, fitnah, berita palsu/bohong, penghasutan, penyebar kebencian (hate speech), dan hal-hal lain yang memang sering menjadi bagian dari pemberitaan pers. Dimasukkannya hal-hal ini ke dalam Revisi UU Pers justru untuk melindungi dan akan menyelamatkan kinerja pers bebas. Karena kasus-kasus itu, bila muncul, akan disikapi di bawah naungan UU Pers. Tak perlu lagi KUHP yang ancaman hukumannya berupa hukuman kurungan/penjara. Dalam Revisi itu hendaknya diatur pula bagaimana mensikapi kesalahan jurnalistik yang mengandung unsur-unsur tersebut di atas.
Namun itu bukan berarti pasal pencemaran nama baik dalam KHUP harus dihapuskan. UU Pokok Pers dapat dijadikan Lex Specialis tentunya tidak dengan mencabut pasal pencemaran nama baik dalam KUHP. Bagaimanapun hukum pidana itu ultimum remedium, tapi pada prinsipnya dalam aturan tentu ada logika hukumnya dalam penerpan sanksi. Semoga kawan-kawan pers dapat memahani ini karena keberadaan pasal-pasal pencemaran nama baik dalam KUHP tetap di perlukan sebagai fungsi kontrol.


Selasa, 22 April 2014

Pidana Penjara dan Denda terkait Pasal Pencemaran Nama Baik dalam UU ITE

Oleh: Ronny, M.Kom, M.H (Ronny Wuisan)
[Penulis adalah seorang LawBlogger/Praktisi Hukum Telematika di Indonesia]
Keberlakuan dan tafsir atas Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak dapat dipisahkan dari norma hukum pokok dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP. Demikian salah satu pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam putusan perkara No. 50/PUU-VI/2008 atas judicial review pasal 27 ayat (3) UU ITE terhadap UUD 1945. Mahkamah Konstitusi menyimpulkan bahwa nama baik dan kehormatan seseorang patut dilindungi oleh hukum yang berlaku, sehingga Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak melanggar nilai-nilai demokrasi, hak azasi manusia, dan prinsip-prinsip negara hukum. Pasal 27 ayat (3) UU ITE adalah Konstitusional. Bila dicermati isi Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1) UU ITE tampak sederhana bila dibandingkan dengan pasal-pasal penghinaan dalam KUHP yang lebih rinci. Oleh karena itu, penafsiran Pasal 27 ayat (3) UU ITE harus merujuk pada pasal-pasal penghinaan dalam KUHP. Misalnya, dalam UU ITE tidak terdapat pengertian tentang pencemaran nama baik. Dengan merujuk Pasal 310 ayat (1) KUHP, pencemaran nama baik diartikan sebagai perbuatan menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum. Pasal 27 ayat (3) UU ITE "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik" Pasal 310 ayat (1) KUHP Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Rumusan Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1) UU ITE yang tampak sederhana berbanding terbalik dengan sanksi pidana dan denda yang lebih berat dibandingkan dengan sanksi pidana dan denda dalam pasal-pasal penghinaan KUHP. Misalnya, seseorang yang terbukti dengan sengaja menyebarluaskan informasi elektronik yang bermuatan pencemaran nama baik seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE akan dijerat dengan Pasal 45 Ayat (1) UU ITE, sanksi pidana penjara maksimum 6 tahun dan/atau denda maksimum 1 milyar rupiah. Pasal 45 UU ITE (1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Masih ada pasal lain dalam UU ITE yang terkait dengan pencemaran nama baik dan memiliki sanksi pidana dan denda yang lebih berat lagi, perhatikan pasal 36 UU ITE. Pasal 36 UU ITE "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan perbuatan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27 sampai Pasal 34 yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain" Misalnya, seseorang yang menyebarluaskan informasi elektronik yang bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dan mengakibatkan kerugian bagi orang lain akan dikenakan sanksi pidana penjara maksimum 12 tahun dan/atau denda maksimum 12 milyar rupiah (dinyatakan dalam Pasal 51 ayat 2) Pasal 51 ayat (2) UU ITE Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).sumber: http://www.p2kp.org/pengaduandetil.asp?mid=740&catid=6&

Sabtu, 19 April 2014

UUD 45 Pasal 28 Vs UU ITE


Indonesia berpedoman pada negara demokrasi serta siapapun bebas mengaspirasikan pendapatnya.  Kebebasan berpendapat merupakan hak dari setiap masyarakat dalam mengutarakan pendapatnya mengenai kritik dan opini.  Di indonesia kebebasan berpendapat dan berserikat atau berkumpul ini pun sepenuh nya di lindungi oleh pasal 28 UUD 45 yang berarti bahwa kita bebas mengutarakan pendapat atau pun berkumpul/berserikat di negara kesatuan kita ini.  Seiring berjalannya waktu, perkembangan teknologi pada era globalisasi ini menjadi media untuk mengemukakan aspirasi secara bebas dan terbuka dengan berbagai cara tulisan maupun lisan dengan memanfaatkan media seperti jejaring sosial, blog, millis dll seperti hal nya yang di utarakan oleh Thomas L Friedman yang mengatakan bahwa dunia semakin datar dengan adanya teknologi internet yang menyatukan seluruh orang didunia pada satu waktu yang sama, ini berarti bahwa mengutarakan pendapat di dunia maya bebas dilakukan kapan saja, dimana saja dan oleh siapa saja. Numun dengan kebebasan kita berpendapat dan berekspresi di dunia maya akan serta merta bebas berekspresi tanpa batasan? Tentu saja tidak.   Negara indonesia selalu berpedoman pada asas demokrasi dalam berpendapat dengan mengedepankan masyarakatnya untuk bebas berorasi dan berpendapat khusus nya di era teknologi seperti ini dimana kebebasan berpendapat di dunia maya sangat bebas.  Dengan melihat tingkat pertumbuhan internet dan akses kebebasan berpendapat, maka untuk mengatur aturan main dalam berpendapat di dunia maya maka dikeluarkanlah sebuah undang-undang informasi dan transaksi elektronik oleh pemerintah indonesia  yang sering kita sebut sebagai UU ITE.
Apa yang di maksut dengan UU ITE? UU ITE adalah suatu aturan perundang-undangan yang berisi regulasi atau peraturan mengenai prilaku manusia dalam penggunaan teknologi ( terutama teknologi komunikasi ).  Dengan di keluarkan nya UU ITE ini sebagian orang berpendapat bahwa ini merupakan sebuah batasan dalam berpendapat khusus dalam pemanpaatan teknologi komunikasi, seperti pada pasal 27 ayat 3 UU ITE yang menyebutkan bahwa “ Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”  terdapat kerancuan dalam pasal ini mengingat pencemaran dalam konteks seperti apa yang dapat di kategorikan melanggar pasal ini.  Alih alih ingin mengutarakan pendapat dan kritik terhadap seseorang, yang ada malah kita terjerat oleh pasal ini.  Bahkan dengan ada nya pasal penghinaan dan pencemaran UU ITE yang di sah kan pada tahun 2008 ini, sering di manfaatkan pelapor untuk meredam upaya kritis masyarakat yang mayoritas pelapor adalah orang-orang yang memiliki keluasaan seperti politikus, polis pejabat daerah dll.  Masih ingat dengan kasus Prita Mulyani? Seorang ibu rumah tangga yang di penjarakan oleh Pihak rumah sakit OMNI International Hospital tangerang hanya karena dia mengirimkan surat elektronik mengenai pengaduan atas pelayanan rumah sakit tersebut.  Disini sudah tergambar jelas mengenai pembatasan bahkan menekan atas sikap kritis masyarakat.  Menurut Damar Juniarto dari Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safenet) dari 2008 hingga kini sudah sekitar 25 orang di penjarakan akibat  pasal pencemaran nama baik dalam undang-undang ITE ini.  Jadi bagaimana dengan landasan kebebasan berpendapat yang di atur oleh undang-undang dasar negara tahun 1945 yang tertera pada pasal 28 mengenai kebebasan berserikat dan berkumpul untuk mengeluarkan pendapat?
selain bertentangan dengan UUD 45 pasal 28, undang-undang ITE pun UU ITE telah jelas tidak mengakui perhormatan, pemajuan, dan perlindungan Hak Asasi Manusia, dan mengabaikan UU No 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang mewajibkan agar setiap materi muatan peraturan perundang-undangan menceminkan perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia, ini sangat bertentanganssekali dengan maksut dan tujuan dari UU ITE ini yaitu melindungi perdagangan dan transaksi elektronik, UU ITE ini malah membatasi ruang berpendapat masayarakat dengan mencampuri hak-hak sipil yang merupakan hak dasar manusia untuk berpendapat.  Setidaknya ada beberapa ketentuan dalam UU ITE yang berpotensi mengancam kebebasan berpendapat diantaranya adalah pasal 27 ayat 1 mengenai kesusilaan, 27 ayat 3 mengenai pencemaran nama baik, 28 ayat 1 mengenai kebohongan berita dan pasal 28 ayat 2 mengenai SARA.
Selain itu juga, Pasal 27 dan 28 UU ITE berpotensi mengebiri pers karena berita pers dalam wujud informasi elektronik (di internet), terkait dengan kasus-kasus korupsi, manipulasi dan sengketa, dapat dinilai sebagai penyebaran pencemaran atau kebencian oelh UU ITE ini.

Karena semakin krusial nya perdebatan permasalahan kebebasan antara hak dasar manusia dalam berpendapat menggunakan teknologi dengan undang-undang yang mengatur kebebasan berpendapat itu sendiri, beberapa solusi terbaik harus segera dapat di wujudkan guna terselesaikan nya kasus ini seperti merevisi isi UU ITE dengan memuat ketentuan HAM dalam kebebasan berpendapat, Menjelaskan hal-hal yang dianggap ambigu dalam UU ITE, UU ITE harus di revisi dengan menegaskan bahwa UU ITE tidak di gunakan dalam kaitan berita di media masa baik cetak maupun media online dan UU ITE harus di bawah UU PERS jika terkait dalam masalah dan kasus penyiaran/pemberitaan.  Dengan beberapa solusi tersebut menjadikan suara kebebasan berpendapat rakyat indonesia dapat terjaga tanpa harus takut terjerat dalam UU ITE sehingga sikap kritis masyarat terhadap para pemimpin dapat terus meningkat. ( heru riswan : berbagai sumber )

Jumat, 18 April 2014

Hukuman Pasal Pencemaran Nama Baik Indonesia Termasuk Terberat di Dunia

Andreas Harsono, seorang konsultan Hak Asasi Manusia, menyatakan pengawas yang berbasis di New York akan merilis laporan bulan depan bahwa di Indonesia undang-undang pidana pencemaran nama baik termasuk di antara terberat dunia.

"Sejak keruntuhan era Suharto di 1998, hukuman atas pencemaran nama baik telah diturunkan dari hukuman mati menjadi hukuman penjara," kata Harsono. "Tapi sekarang jumlah kasus pencemaran nama baik di bawah undang-undang pidana dan perdata telah meningkat sebagai sarana untuk melindungi yang kuat dan korup dari kritik," lanjutnya.
Hal ini terkait dengan diadilinya Farah Nur Arafah oleh pengadilan negeri di Bogor dengan hukuman penjara atas kasus penghinaan nama baik di situs jejaring Facebook. Farah dinilai menyakiti Felly Fandini, teman di facebooknya. Farah menulis pada bulan Juli tahun lalu dan menyebut Fandini babi dan anjing.
Atas kasusnya ini, Farah dijatuhi hukuman 75 hari di penjara namun ditangguhkan karena berlaku baik selama persidangan. Atas ulahnya ini, Farah mengaku akan berhati-hati saat berkomentar di facebook, namun tak membuatnya jera untuk tetap aktif di facebook.

Apa Itu Defamation???


Defamation ( Pencemaran Nama Baik )

Defamation diartikan sebagi pencemaran nama baik dan bisa juga dengan istilah slander (lisan), libel (tertulis) yang dalam Bahasa Indonesia (Indonesian translation) diterjemahkan menjadi pencemaran nama baik, fitnah (lisan), fitnah (tertulis). Slander adalah oral defamation (fitnah secara lisan) sedangkan Libel adalah written defamation (fitnah secara tertulis). Dalam bahasa Indonesia belum ada istilah untuk membedakan antara slander dan libel. Penghinaan atau defamation secara harfiah diartikan sebagai sebuah tindakan yang merugikan nama baik dan kehormatan seseorang.
*Pelanggaran Kasus Defamation
Kategori Criminal Libel (Penghinaan bersifat kriminal atau pidana) dan Civil Libel (penghinaan atau pencemaran nama baik terhadap seseorang yang bersifat perdata).
-          Mengeluarkan opini tentang badan hukum maupun individual di sosial media mau pun layanan internet lainnya yang didalamnya terdapat fitnah, menghina, menghujat dan sebagainya yang dapat mencemarkan nama baik individual maupun lembaga.
-          Ungkapan suatu penghinaan di dalam akun pribadi jejaring sosial namun menyangkut orang lain maupun lembaga.
 *Penanggulangan Kasus Defamation
-          Menyembunyikan identitas orang atau lembaga yang kita kritik.
-          Sebutkan bukti sumber informasi selengkap-lengkapnya.
-          Sampaikan pujian terlebih dahulu.
-          Setelah memuji, sampaikan ucapan terima kasih
-          Ciptakan kesan bahwa kita lebih menaruh perhatian pada orang atau lembaga yang kita kritik.
-          Perbanyaklah kata “Kita”
-          Tempatkanlah diri lebih “rendah” daripada orang atau lembaga yang kita kritik.
-          Mohon maaf atas segala kata – kata yang kita tuliskan.
Aspek Hukum Pasal - Pasal Tentang UU ITE

Pasal-pasal dalam Bab XVI Buku I KUHP tersebut hanya mengatur penghinaan atau pencemaran nama baik terhadap seseorang (individu), sedangkan penghinaan atau pencemaran nama baik terhadap instansi pemerintah, pengurus suatu perkumpulan, atau segolongan penduduk, maka diatur dalam pasal-pasal khusus, yaitu :
1. Penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 134 dan 137 KUHP), pasal-pasal ini telah dibatalkan atau dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Mahkamah Konstitusi
2. Penghinaan terhadap kepala negara asing (Pasal 142 dan 143 KUHP)
3. Penghinaan terhadap segolongan penduduk, kelompok atau organisasi (Pasal 156 dan 157 KUHP);
4. Penghinaan terhadap pegawai agama (Pasal 177 KUHP)
5. Penghinaan terhadap kekuasaan yang ada di Indonesia (Pasal 207 dan 208 KUHP)
                                                                                                                                                                 
Selain sebagaimana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), berkaitan dengan “pencemaran nama baik” juga diatur dalam UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dalam UU No. 32 Tahun 2002, Pasal 36 ayat (5) menyebutkan bahwa :

Isi siaran dilarang :
a. bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau bohong;
b. menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang atau
c. mempertentangkan suku, agama, ras, dan antargolongan.
  
dan UU No. 11 Tahun 2008, Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang menyebutkan :
“Setiap orang dengan sengaja dan/atau tanpa hak mendistribusikan atau mentransmisikan dan membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan pencemaran nama baik.”
Pasal 28 ayat (2) UU ITE menyebutkan :
“Setiap orang dengan sengaja dan/atau tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, ras, agama dan antar golongan (SARA).
Pasal 29 UU ITE “Setiap orang dengan sengaja dan/atau tanpa hak mengirimkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang diajukan secara pribadi”.
Pasal 310 ayat (1) KUHP “Barang siapa sengaja menyerang kehormatan dan/atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran nama baik”.
 

Jumat, 11 April 2014

INDONESIA: MEMBATALKAN HUKUM PENODAAN AGAMA

Mitra Pluralisme Pengetahuan Programma CRCS merekomendasikan Mahkamah Konstitusi Indonesia untuk meniadakan hukum Taurat 1965 tentang penistaan ​​agama. Hukum ini masih efektif digunakan saat ini untuk membedakan kelompok-kelompok agama tertentu. Selain itu ditemukan bertentangan dengan Konstitusi. Namun, sebagian besar organisasi keagamaan arus utama membela hukum. CRCS menyajikan argumen mengeksplorasi instrumen alternatif untuk menangani keragaman agama dan potensi konflik.
Mahkamah Konstitusi Indonesia saat ini sedang meninjau undang-undang tentang "penistaan ​​agama". Keputusan akan diumumkan pada bulan April atau Mei 2010. Pada dasarnya 1965 hukum (UU No 1/PNPS/1965) melarang "tindakan dan interpretasi agama yang bertentangan dengan dasar-dasar agama". Ini juga merupakan hukum yang secara eksplisit nama enam agama yang diakui di Indonesia. Hukum telah digunakan untuk menilai banyak kasus seperti penggunaan simbol-simbol agama yang dianggap tidak benar, legalitas / kelompok ortodoks non-mainstream (seperti Ahmadiyah dalam kasus Islam, atau Saksi Yehova), dan kelompok-kelompok yang mungkin dianggap sebagai Gerakan New Agama (misalnya Lia Eden, Children of God). Berpotensi, hal itu juga dapat digunakan untuk mengkriminalisasi berbagai masalah lain seperti penggunaan "buddhabar", simbol Hindu dari om (di sampul novel), untuk interpretasi liberal agama (selama pemeriksaan sidang judicial , beberapa orang telah disebut "Islam liberal" sebagai kelompok memfitnah agama).
Zainal Abidin Bagir dan Suhadi Cholil - peneliti di Pusat Studi Agama dan Lintas Budaya, Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada - akan menyajikan argumen berikut:
1) 1998 Reformasi telah menghasilkan reformasi hukum, antara lain, dimasukkannya artikel tentang hak asasi manusia dalam Perubahan Konstitusi (Undang-Undang Dasar 1945) dan ratifikasi ICCPR (Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik).Hukum penodaan agama ditemukan menjadi bertentangan dengan (diubah) Konstitusi. Sementara kebebasan mungkin terbatas untuk sejumlah alasan tertentu dan dengan undang-undang, hukum penodaan agama tidak perlu membatasi kebebasan beragama. Pada akar kontradiksi adalah gagasan tentang "dasar-dasar agama", terhadap mana setiap tindakan atau penafsiran yang dianggap "menyimpang" diukur. Tapi selalu daerah-yang sangat ditentang menentukan apa yang mendasar dan apa yang menyimpang. Selanjutnya, penetapan "dasar-dasar agama" secara tidak langsung menyeret negara untuk terlibat terlalu dalam dalam hal penafsiran agama. Alasan lain untuk mempertanyakan hukum menyangkut diskriminasi eksplisit terhadap agama tidak resmi, yaitu agama-agama dunia yang tidak disebutkan dalam undang-undang dan agama-agama lokal dan apa yang di Indonesia disebut "aliran kepercayaan". Hal ini bertentangan dengan Undang-Undang yang baru Administration Sipil (2003) yang telah mulai mengakomodasi kelompok-kelompok ini.
2) Argumen terhadap pembatalan undang-undang penodaan agama sebagian besar mengatakan bahwa hukum memberikan mekanisme hukum untuk keluhan dari kelompok-kelompok agama yang religius sensitivitas dilanggar, dan bahwa pembatalan akan mengakibatkan gangguan sosial atau bahkan konflik. Pada argumen itu, kertas posisi berpendapat untuk beberapa hal: pertama-tama, sudah ada hukum pidana yang berlaku di Indonesia pada hasutan untuk melakukan kekerasan (termasuk atas dasar agama); pembatalan hukum tidak berarti bahwa setiap orang dapat dengan bebas "memfitnah" agama. Apa hukum yang ada tidak bisa lakukan adalah mengkriminalisasi interpretasi yang dianggap menyimpang dari "fundamental agama"-dan ini, memang, tidak boleh dikriminalisasi.
Selanjutnya, perlu ada kesadaran bahwa tidak dapat dihindari dan meningkatkan (agama) keragaman adalah sebuah fakta, yang memang dapat menyebabkan konflik. Tetapi perbedaan tidak harus selalu ditangani secara hukum. Sementara hukum adalah bagian penting dari tatanan sosial atau kerukunan dalam masyarakat yang beragam, itu bukan satu-satunya cara untuk mengatasi perbedaan. Sebagian besar waktu, masyarakat multikultural yang demokratis menyelesaikan masalah sendiri melalui konsensus sosial; (Pidana) hukum adalah pilihan terakhir, dan hanya untuk kasus-kasus yang memang bisa dikriminalisasi. Bila negara terlibat dalam penyelesaian konflik sosial, juga tidak boleh hanya berupa penerapan hukum pidana, tetapi juga bisa dalam bentuk tindakan politik, seperti mengeluarkan pernyataan yang kuat yang mengutuk potensi hasutan untuk kekerasan.
Berdasarkan argumen di atas kertas posisi merekomendasikan pembatalan 1965 hukum penodaan agama. Jika ada peraturan baru akan ditulis untuk memastikan bahwa penghormatan terhadap agama ditegakkan, harus membuat perbedaan berbagai bentuk perbedaan, dan hanya mengkriminalisasi tindakan yang dapat dikriminalkan (seperti [hasutan untuk] kekerasan dan diskriminasi). Hukum seperti itu harus menghormati semua agama sama-sama di Indonesia dan tidak menyebutkan "dasar-dasar agama", karena setelah itu disebutkan, hal itu akan menyebabkan marjinalisasi kelompok dalam agama tertentu dan mengistimewakan (apa yang dianggap oleh negara sebagai) "mainstream" .
Sebagian besar data, argumen, dan rekomendasi dari kertas berasal dari dua berturut-turut Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia (2008 dan 2009) yang diterbitkan oleh CRCS.


Kamis, 10 April 2014

BLOGGER TERANCAM UU ITE


BERINTERAKSI melalui dunia maya kian menjadi kebutuhan. Melalui wadah blog, misalnya, para penggunanya bisa mengekspresikan diri dengan bebas secara mudah, murah, dan cepat. Para pemilik blog tidak hanya perorangan, melainkan lembaga, komunitas, dan lain sebagainya. Melalui blog, mereka saling bertukar informasi dan berekspresi, sehingga sarana ini kian menjawab kebutuhan informasi.
Akhir-akhir ini, pengguna blog ekstra waspada. Pasalnya, jika materi blog dianggap menghina seseorang, pemilik blog tersebut bisa diancam pidana penjara enam tahun dan denda Rp 1 miliar. Adalah Pasal 27 ayat   (3) Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang menyebutkan ancaman itu. Secara lengkap, ayat itu berbunyi "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik." Selanjutnya, tercantum di Pasal 45 UU ITE, sanksi pidana bagi pelanggar pasal 27 ayat (3) yaitu penjara enam tahun dan denda maksimal Rp 1 miliar.
Kehadiran pasal itu membuat geram para blogger, lembaga swadaya masyarakat pemilik situs, dan para pengelola situs berita online. Mereka merasa terancam haknya menyiarkan tulisan, berita, dan bertukar informasi melalui dunia maya. Pasal itu dianggap ancaman terhadap demokrasi. Kini, mereka ramai-ramai mengajukan permohonan pengujian Pasal 27 ayat (3) UU ITE kepada Mahkamah Konstitusi karena bertentangan dengan Pasal 28F UUD 1945.
Contoh kasus yang tejerat pasal tersebut dialami Narliswiandi Piliang alias Iwan Piliang yang menjadi tersangka pencemaran nama baik atas laporan anggota DPR RI Fraksi PAN Alvin Lie. Iwan dijerat hukuman enam tahun penjara dan denda maksimal Rp 1 miliar terkait tulisannya di blog pribadinya. Tulisan Iwan dalam blog tersebut dianggap sebagai pencemaran nama baik sehingga dianggap melanggar pasal 27 ayat (3) UU ITE. Sebagai upaya membela diri, Iwan mengajukan permohonan uji materi pasal yang digunakan untuk menjeratnya itu.
Saat ini, proses persidangan uji materi Pasal 27 ayat (3) UU ITE masih berlangsung di Mahkamah Konstitusi. Kuasa hukum Iwan Piliang, Wasis Susetio mengaku sedang mempersiapkan saksi ahli untuk dihadirkan dalam sidang selanjutnya. "Kami akan mendatangkan saksi ahli di antaranya Onno W. Purbo," ujar Wasis. (Lina Nursanty/"PR" )***







5 TAHUN UU ITE: 1 Pasal Represif, 25 Korban

1 Pasal Represif, 25 Korban, Lalu Berapa Lagi yang Akan Di-Prita-kan?
Masih ingat Prita Mulyasari? Ibu rumah tangga yang diperkarakan oleh pasal 27 ayat 3 UU ITE oleh RS Omni International pada Agustus 2008? Kita berpikir semua masalah selesai ketika masyarakat bereaksi keras atas keputusan tidak adil tersebut. Tapi ternyata tidak. Karena kita tak pernah menyentuh akar masalahnya.
Termasuk Prita, ada total 25 korban gara-gara pasal 27 ayat 3 UU ITE yang berhasil diidentifikasi. Dari jumlah tersebut, tahun 2013 merupakan tahun paling buruk bagi pengguna internet di Indonesia. Setiap bulan 1 kasus muncul selama 2013. Jumlah ini bisa bertambah karena ada banyak kasus yang tidak muncul di media dan selesai dengan pencabutan isi blog, twitter, FB, status BBM dll.
Yang tampak dari kasus-kasus yang mencuat ini adalah pasal 27 ayat 3 UU ITE lebih banyak digunakan pelapor untuk meredam upaya kritik masyarakat. Pelapornya pun mayoritas orang-orang yang “memiliki kuasa” entah ia politisi, bupati, sampai pejabat tinggi. Lalu kita tentu saja bertanya kepada siapakah sesungguhnya UU ITE berpihak? Kita memang perlu peraturan mengatur soal cyber crime, tata laksana internet di Indonesia, tetapi apakah perlu mengatur soal pencemaran nama di internet? Yang lebih utama lagi, perlukah pencemaran nama dipidana dan mereka yang melakukannya dipenjara?
Hal-hal ini yang perlu segera diubah dalam UU ITE yang katanya akan segera direvisi Kominfo dan DPR pada Prolegnas 2014. Hapus pasal 27 ayat 3 UU ITE dan hilangkan hukuman penjara bagi tindakan pencemaran nama. Hentikan pemenjaraan orang hanya karena ia menyampaikan pendapatnya di media internet/social media.
Peluncuran Petisi oleh Prita Mulyasari lewat change.org/Gara2UUITE adalah langkah pertama untuk mendesak Kominfo mengubah UU ITE lebih melindungi warga Negara dan menghapus pasal represif tersebut untuk selamanya dari UU ITE. Peluncuran ini juga merupakan simbol bahwa masyarakat ingin kehidupan internet yang lebih sehat, lebih demokratis, dan lebih dinamis.
Berikut daftar korban UU ITE:
1.Johan Yan. Komentar di Facebook tentang dugaan korupsi Rp 4,7 triliun di Gereja Bethany Surabaya. terancam hukuman penjara enam tahun dan denda Rp 1 miliar.
2.Anthon Wahju Pramono. Akibat kirim SMS dengan bahasa yang kasar kepada HM Lukminto, ia dikasuskan dan sudah diproses hukum di Pengadilan Negeri Solo.
3.Ade Armando. Dosen FISIP UI, menjadi tersangka karena mengindikasikan adanya korupsi pada Direktur Kemahasiswaan UI.
4.Benny Handoko. Men-tweet mengenai tuduhan korupsi kepada @misbakhun mantan anggota DPR dan aktivis di PKS. Sempat ditahan 1 hari, kasus sedang berjalan.
5.Budiman. Siswa SMP Negeri Ma’rang, Kab. Pangkep ditahan karena mengkritik Bupati Pangkep, Syamsuddin A Hamid melalui Facebook.
6.Mirza Alfath. Dosen Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh (Unimal) Lhokseumawe Aceh dianggap melakukan pelecehan atas syariat Islam atas komentarnya di Facebook.
7.Musni Usmar. Mantan Ketua Komite Sekolah SMAN 70 yang juga salah satu dosen di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta menjadi tersangka pencemaran nama baik setelah menulis di blog.
8.Alexander Aan. Dipenjara 2,5 tahun dan denda 100 juta rupiah karena dianggap menyebarkan kebencian agama lewat Facebook, Sumatera Barat.
9.Muhammad Fajriska Mirza. Men-tweet tentang dugaan suap Jamwas Marwan Effendi. Ancaman 8 tahun penjara.
10.Ira Simatupang. Mantan dokter RSUD Tangerang dilaporkan kepolisi atas laporan pencemaran nama baik, divonis 5 bulan penjara.
11.Donny Iswandono. Penggerak dan pemimpin redaksi Media Online Nias-Bangkit.com (NBC) dituntut Bupati Nias Selatan Idealisman Dachi terkait pemberitaan kasus korupsi di Nias Selatan.
12.Muhammad Arsyad. Aktivis Garda Tipikor ditahan setelah menulis status BlackBerry Messenger (BBM) mengindikasikan korupsi Nurdin Halid.
13.Denny Indrayana. Wakil menteri hukum dan HAM, dilaporkan OC Kaligis ke Polda Metro Jaya atas pencemaran nama baik.
14.Yenike Venta Resti. Karena status Facebooknya, ia dituntut 1,5 tahun penjara. Diadili di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya.
15.Mustika Tahir. Ketua LSM Pemantau Kinerja Aparatur, ditahan Polisi Sulawesi Selatan atas laporan Andi Khairil Syam (anggota Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Wajo.
16.Farhat Abbas. Diperiksa sebagai tersangka karena berkomentar bernada SARA ke Wakil Gubernur DKI Jakarta. Kasusnya sudah dimediasi.
17.Rahayu Kandiwati dan Siti Rubaidah. Aktivis perempuan dan korban, dilaporkan Joko Prasetyo, seorang aktivis perempuan, dan Siti Rubaidah karena telah memberikan pernyataan di media massa serta dalam situs change.org.
18.Beryl Cholif Arrahman. Mengkritik guru lewat Facebook, sempat dipecat dari SMA Negeri 1 Kecamatan Pakong, Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur. Pemecatan akhirnya dibatalkan, diganti surat tidak mengulangi perbuatan.
19.Yunius Koi Asa. Dianggap memfitnah tentang kecurangan pemilihan gubernur dan wakil gubernur NTT melalui Facebook. Dilaporkan ke Polres Belu, oleh Silverius Mau.
20.Prita Mulyasari. Menulis email tentang keluhan perlakuan buruk RS Omni Internasional. Sempat ditahan 22 hari. Dinyatakan bebas Februari 2013
21.Herman Saksono. Blogger/Programmer di Jogjakarta diperiksa oleh Polisi Jogja setelah memposting foto editan SBY di blog pribadinya.
22.Narliswandi Piliang. Karena artikel berita berjudul “Hoyak Tabuik Adaro dan Soekanto” ia dilaporkan Alvin Lie, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Partai Amanat Nasional. Iwan diperiksa Satuan Cyber Crime Polda Metro Jaya karena dugaan melanggar UU ITE, Pasal 27 ayat 3.
23.Erick J Adriansjah. Menyebarkan email berisi informasi pasar yang belum dikonfirmasi, kemudian beredar di mailing-list membuat ia dituntut Bank Indonesia dan Bank Artha Graha. Erick ditahan Unit V Cyber Crime Mabes Polri karena dianggap melanggar UU ITE, Pasal 27 ayat 3 dan Pasal 28 ayat 1 dan diskors dari perusahaannya.
24.Nur Arafah/Farah. Pelajar SMA yang lantaran marah karena cemburu memposting cacian di Facebook. Telah menjalani proses pemeriksaan oleh Mapolresta Bogor.
25.Harry Nuriman, Moderator milis pekerja tambang, digugat pencemaran nama baik perusahaan melalui milis oleh kuasa hukum PT Sumber Mitra Jaya. Akhirnya dimediasi dan ia melakukan permintaan maaf lewat Harian Kompas dan Bisnis Indonesia

Rabu, 09 April 2014

Benny Handoko Divonis Bersalah Karena Telah Mencemarkan Nama Baik Misbakhun

                        
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjatuhkan vonis enam bulan penjara dengan masa percobaan satu tahun terhadap terdakwa kasus penghinaan dan pencemaran nama baik mantan politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Muhammad Misbakhun, Benny Handoko. Vonis dibacakan di PN Jakarta Selatan, Rabu (5/2/2014).

Hakim menilai Benny bersalah karena telah dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan atau mentransmisikan dokumen yang memiliki muatan penghinaan atau pencemaran nama baik terhadap Misbakhun.

"Menjatuhkan pidana penjara kepada terdakwa Benny Handoko selama enam bulan dengan ketentuan pidana tersebut tidak perlu dijalankan jika dalam percobaan satu tahun terdakwa tidak mengulangi perbuatannya," kata Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Suprapto, saat membacakan putusannya, Rabu (5/2/2014).

Menurut majelis hakim, Benny terbukti melanggar Pasal 27 Ayat 3jo Pasal 45 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Putusan ini lebih ringan dibanding tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) yang menuntut Benny satu tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun.

Hal yang meringankan adalah karena Benny bersikap sopan selama persidangan berlangsung. Benny dianggap masih muda dan diharapkan tidak mengulangi perbuatannya. Benny juga mempunyai anak dan istri. Terakhir, Benny belum pernah menjalani hukuman pidana.

Sementara itu, hal yang memberatkan, perbuatan Benny dianggap merugikan orang lain.

Kasus yang menjerat Benny ini bermula saat dia menyebut Misbakhun sebagai perampok Bank Century melalui akun Twitter-nya, @benhan. "Misbakhun: perampok bank Century, pembuat akun anonim penyebar fitnah, penyokong PKS, mantan pegawai Pajak di era paling korup," tulis Benny (7/12/2012).

Tweet tersebut berbuntut panjang. Terjadi twitwar (perang tweet) yang cukup intens antara Misbakhun dan Benny saat itu. Misbakhun pun mengancam akan memproses Benny secara hukum.

"Anda @benhan harus bisa menjelaskan ke saya 'merampok' Bank Century. Walaupun kata merampoknya menggunakan tanda petik. Sudah saya capture. Sulit lari," tulis Misbakhun mengakhiritwitwar itu.

Tiga hari kemudian, Misbakhun mendatangi Mapolda Metro Jaya untuk melaporkan kasus pencemaran nama baik tersebut. Benny pun menanggapi santai laporan Misbakhun itu. Lalu, pada Kamis (5/9/2013), kasus ini kembali mencuat ke publik ketika Benny ditahan di rutan Kelas I Cipinang oleh pihak kejaksaan.



sumber : kompas.com

Kasus Pencemaran Nama Baik, Farhat Abbas Terancam Penjara Lebih dari 5 Tahun

pencemaran nama baik yang dilaporkan Ahmad Dhani terus diproses pihak berwajib.
Farhat Abbas yang sudah dijadikan tersangka dalam perkara ini dihadapkan dengan ancaman hukuman yang tidak ringan.
"Beliau (Farhat) dikenakan Pasal 27 ayat 3 UU no.11 tentang ITE juncto pasal 310 dan 311.
Ancaman hukumannya lima tahun ke atas," kata Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Rikwanto, saat ditemui di ruang kerjanya, Kamis (27/3).
Sedianya, Farhat akan diperiksa sebagai tersangka siang tadi. Namun suami artis Nia Daniaty itu lebih memilih untuk menjalankan kampanye sebagai calon legislatif.
Melalui pengacara Elza Syarief, Farhat mengajukan permohonan agar pemeriksaannya ditunda hingga 15 April mendatang.