Sabtu, 19 April 2014

UUD 45 Pasal 28 Vs UU ITE


Indonesia berpedoman pada negara demokrasi serta siapapun bebas mengaspirasikan pendapatnya.  Kebebasan berpendapat merupakan hak dari setiap masyarakat dalam mengutarakan pendapatnya mengenai kritik dan opini.  Di indonesia kebebasan berpendapat dan berserikat atau berkumpul ini pun sepenuh nya di lindungi oleh pasal 28 UUD 45 yang berarti bahwa kita bebas mengutarakan pendapat atau pun berkumpul/berserikat di negara kesatuan kita ini.  Seiring berjalannya waktu, perkembangan teknologi pada era globalisasi ini menjadi media untuk mengemukakan aspirasi secara bebas dan terbuka dengan berbagai cara tulisan maupun lisan dengan memanfaatkan media seperti jejaring sosial, blog, millis dll seperti hal nya yang di utarakan oleh Thomas L Friedman yang mengatakan bahwa dunia semakin datar dengan adanya teknologi internet yang menyatukan seluruh orang didunia pada satu waktu yang sama, ini berarti bahwa mengutarakan pendapat di dunia maya bebas dilakukan kapan saja, dimana saja dan oleh siapa saja. Numun dengan kebebasan kita berpendapat dan berekspresi di dunia maya akan serta merta bebas berekspresi tanpa batasan? Tentu saja tidak.   Negara indonesia selalu berpedoman pada asas demokrasi dalam berpendapat dengan mengedepankan masyarakatnya untuk bebas berorasi dan berpendapat khusus nya di era teknologi seperti ini dimana kebebasan berpendapat di dunia maya sangat bebas.  Dengan melihat tingkat pertumbuhan internet dan akses kebebasan berpendapat, maka untuk mengatur aturan main dalam berpendapat di dunia maya maka dikeluarkanlah sebuah undang-undang informasi dan transaksi elektronik oleh pemerintah indonesia  yang sering kita sebut sebagai UU ITE.
Apa yang di maksut dengan UU ITE? UU ITE adalah suatu aturan perundang-undangan yang berisi regulasi atau peraturan mengenai prilaku manusia dalam penggunaan teknologi ( terutama teknologi komunikasi ).  Dengan di keluarkan nya UU ITE ini sebagian orang berpendapat bahwa ini merupakan sebuah batasan dalam berpendapat khusus dalam pemanpaatan teknologi komunikasi, seperti pada pasal 27 ayat 3 UU ITE yang menyebutkan bahwa “ Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”  terdapat kerancuan dalam pasal ini mengingat pencemaran dalam konteks seperti apa yang dapat di kategorikan melanggar pasal ini.  Alih alih ingin mengutarakan pendapat dan kritik terhadap seseorang, yang ada malah kita terjerat oleh pasal ini.  Bahkan dengan ada nya pasal penghinaan dan pencemaran UU ITE yang di sah kan pada tahun 2008 ini, sering di manfaatkan pelapor untuk meredam upaya kritis masyarakat yang mayoritas pelapor adalah orang-orang yang memiliki keluasaan seperti politikus, polis pejabat daerah dll.  Masih ingat dengan kasus Prita Mulyani? Seorang ibu rumah tangga yang di penjarakan oleh Pihak rumah sakit OMNI International Hospital tangerang hanya karena dia mengirimkan surat elektronik mengenai pengaduan atas pelayanan rumah sakit tersebut.  Disini sudah tergambar jelas mengenai pembatasan bahkan menekan atas sikap kritis masyarakat.  Menurut Damar Juniarto dari Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safenet) dari 2008 hingga kini sudah sekitar 25 orang di penjarakan akibat  pasal pencemaran nama baik dalam undang-undang ITE ini.  Jadi bagaimana dengan landasan kebebasan berpendapat yang di atur oleh undang-undang dasar negara tahun 1945 yang tertera pada pasal 28 mengenai kebebasan berserikat dan berkumpul untuk mengeluarkan pendapat?
selain bertentangan dengan UUD 45 pasal 28, undang-undang ITE pun UU ITE telah jelas tidak mengakui perhormatan, pemajuan, dan perlindungan Hak Asasi Manusia, dan mengabaikan UU No 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang mewajibkan agar setiap materi muatan peraturan perundang-undangan menceminkan perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia, ini sangat bertentanganssekali dengan maksut dan tujuan dari UU ITE ini yaitu melindungi perdagangan dan transaksi elektronik, UU ITE ini malah membatasi ruang berpendapat masayarakat dengan mencampuri hak-hak sipil yang merupakan hak dasar manusia untuk berpendapat.  Setidaknya ada beberapa ketentuan dalam UU ITE yang berpotensi mengancam kebebasan berpendapat diantaranya adalah pasal 27 ayat 1 mengenai kesusilaan, 27 ayat 3 mengenai pencemaran nama baik, 28 ayat 1 mengenai kebohongan berita dan pasal 28 ayat 2 mengenai SARA.
Selain itu juga, Pasal 27 dan 28 UU ITE berpotensi mengebiri pers karena berita pers dalam wujud informasi elektronik (di internet), terkait dengan kasus-kasus korupsi, manipulasi dan sengketa, dapat dinilai sebagai penyebaran pencemaran atau kebencian oelh UU ITE ini.

Karena semakin krusial nya perdebatan permasalahan kebebasan antara hak dasar manusia dalam berpendapat menggunakan teknologi dengan undang-undang yang mengatur kebebasan berpendapat itu sendiri, beberapa solusi terbaik harus segera dapat di wujudkan guna terselesaikan nya kasus ini seperti merevisi isi UU ITE dengan memuat ketentuan HAM dalam kebebasan berpendapat, Menjelaskan hal-hal yang dianggap ambigu dalam UU ITE, UU ITE harus di revisi dengan menegaskan bahwa UU ITE tidak di gunakan dalam kaitan berita di media masa baik cetak maupun media online dan UU ITE harus di bawah UU PERS jika terkait dalam masalah dan kasus penyiaran/pemberitaan.  Dengan beberapa solusi tersebut menjadikan suara kebebasan berpendapat rakyat indonesia dapat terjaga tanpa harus takut terjerat dalam UU ITE sehingga sikap kritis masyarat terhadap para pemimpin dapat terus meningkat. ( heru riswan : berbagai sumber )

0 komentar:

Posting Komentar