Rabu, 23 April 2014

PERS DAN PASAL PENCEMARAN NAMA BAIK

sumber: http://rektivoices.wordpress.com/2009/10/23/pers-dan-pasal-pencemaran-nama-baik/
Pemberlakuan pasal fitnah, penghinaan dan pencemaran nama baik dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau KUHP, sering disorot tajam oleh para praktisi hukum dan praktisi jurnalistik karena dinilai banyak menghambat kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat, khususnya bagi Pers.
Seiring pembahasan RKUHP, muncul tuntutan dari beberapa kalangan agar pasal pencemaran nama baik dalam KUHP dicabut, antara lain karena pasal tersebut dianggap ‘pasal karet’ yang dapat dijadikan alat represif untuk membungkam kebebasan berpendapat. Disebut pasal karet karena memang sampai kini belum ada definisi hukum di Indonesia yang tepat tentang ‘apa’ yang disebut dengan pencemaran nama baik sehingga bisa jadi pasal ini ditafsirkan secara subjektif. Menurut frase (bahasa Inggris), pencemaran nama baik diartikan sebagai defamation, slander, libel yang dalam bahasa Indonesia (Indonesian translation) diterjemahkan menjadi pencemaran nama baik, fitnah (lisan), fitnah (tertulis). Slander adalah oral defamation (fitnah secara lisan) sedangkan Libel adalah written defamation (fitnah secara tertulis). Dalam bahasa Indonesia belum ada istilah untuk membedakan antara slander dan libel. Meskipun masih dalam perdebatan, ketentuan-ketentuan tentang penghinaan yang terdapat dalam Bab XVI, Buku II KUHP masih relevan, oleh karena itu, sebenarnya pasal ini tidak perlu dicabut. Cukup direvisi dengan diperjelas tafsir dari pencemaran nama baik itu sendiri.
Ketakutan yang lain dari pemberalakuan pasal pencemaran nama baik antara lain adalah bahwa pasal tersebut dijadikan alat untuk mengkriminalisasikan pers. Penerapan pasal mengenai pencemaran nama baik di Indonesia memang sangat rancu. Pers ataupun individu yang dituduh mencemarkan nama baik dapat terkena pasal pidana maupun perdata. Kebanyakan jika penggugat menang dalam perdata, putusan perdata akan digunakan untuk mengintimidasi di pidana juga, begitu pun sebaliknya.
Parahnya, ketika terjadi delik pers, para praktisi hukum seperti polisi, hakim, jaksa, pengacara, atau pun masyarakat umumnya tidak memiliki kesamaan pendapat dalam menjelesaikan kasus pers. Apakah menggunakan Undang-Undang No. 40/1999 (UU Pokok Pers) atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)? Ketidakseragaman pendapat tersebut terbukti dengan adanya beberapa kasus pers yang diselesaikan melalui mekanisme Hak Jawab sesuai UU Pers. Tetapi, ada juga kasus pers diselesaikan lewat pengadilan pidana.
Pasal 5 ayat A2 UU Pers menyebutkan pers berkewajiban melayani hak jawab dan hak koreksi serta menarik berita atau tulisan yang salah. Perusahaan pers yang melanggar ketentuan ini diancam hukuman denda paling besar Rp500 juta. Dalam prakteknya, pelaksanaan aturan hak jawab dalam UU Pers menghadapi masalah. Jika media memberikan hak jawab kepada pihak yang dirugikan oleh suatu pemberitaan, hal itu tidak menutup kemungkinan korban menggugat atau mengadukan kasusnya ke pengadilan. Maka revisi yang perlu diusulkan adalah, harus dengan tegas menyatakan “Jika media sudah menarik kembali berita yang keliru, meminta maaf atau memberikan hak jawab, maka kasus pencemaran nama baik dapat digugat perdata ke pengadilan, tapi tidak disertai hukuman pidana”.
Masyarakat pers Indonesia sendiri terpecah dua dalam memperjuangkan kebebasan pers. Ada yang setuju UU Pers sebagai Lex Specialis, namun ada pula yang tidak. Ada pula kalangan menginginkan agar UU Pokok Pers direvisi, agar dapat benar-benar berperan sebagai Lex Specialis untuk perkara-perkara yg melibatkan pers.
Gagasan merevisi UU Pers ini tentu sangat tidak populer, terutama di kalangan pers. Namun perlu dipahami bahwa Revisi UU Pers tidak semata-mata bermaksud mengurangi kebebasan pers dan meningkatkan kontrol terhadap pers. Justru sebaliknya. Hal-hal yang selama ini dirasa mengganggu, dapat diatasi dengan Revisi UU Pers. Misalnya, Pasal 7 UU Pers menyebutkan bahwa setiap wartawan wajib memiliki dan mentaati kode etiknya. Menurut penulis, pasal ini justru harus dihapus, karena berkaitan dengan kode etik, dan kode etik adalah urusan organisasi profesi.
Di lain pihak, ada beberapa hal yang perlu diakomodasikan dalam UU Pers, misalnya obscenity dan indecency. Jangan sampai ada lagi anggota Dewan Pers mengatakan bahwa tabloid porno dan yellow paper itu bukan pers. Itu selebaran. Pernyataan ini menunjukkan bahwa pers ‘angkat tangan’ atau ‘cuci tangan’. Padahal, tidak benar bahwa pers adalah hanya koran/majalah seperti Kompas dan Tempo. Menurut UU Pers juga, pers adalah wahana komunikasi massa yang menyampaikan informasi kepada masyarakat dalam bentuk gambar, suara, tulisan (Bab I, Pasal 1, butir 1, UU Pokok Pers). Menganggapnya sebagai ‘bukan pers’ adalah sikap yang kurang bertanggungjawab.
Hal lain yang perlu diakomodasikan dalam Revisi UU Pers adalah kasus-kasus yang selama ini berada di luar UU Pers sehingga ‘terpaksa’ digunakan pasal KUHP dan menyebabkan UU Pers tak bisa dipakai sebagai lex specialis. Isu-isu itu antara lain: pencemaran nama baik, fitnah, berita palsu/bohong, penghasutan, penyebar kebencian (hate speech), dan hal-hal lain yang memang sering menjadi bagian dari pemberitaan pers. Dimasukkannya hal-hal ini ke dalam Revisi UU Pers justru untuk melindungi dan akan menyelamatkan kinerja pers bebas. Karena kasus-kasus itu, bila muncul, akan disikapi di bawah naungan UU Pers. Tak perlu lagi KUHP yang ancaman hukumannya berupa hukuman kurungan/penjara. Dalam Revisi itu hendaknya diatur pula bagaimana mensikapi kesalahan jurnalistik yang mengandung unsur-unsur tersebut di atas.
Namun itu bukan berarti pasal pencemaran nama baik dalam KHUP harus dihapuskan. UU Pokok Pers dapat dijadikan Lex Specialis tentunya tidak dengan mencabut pasal pencemaran nama baik dalam KUHP. Bagaimanapun hukum pidana itu ultimum remedium, tapi pada prinsipnya dalam aturan tentu ada logika hukumnya dalam penerpan sanksi. Semoga kawan-kawan pers dapat memahani ini karena keberadaan pasal-pasal pencemaran nama baik dalam KUHP tetap di perlukan sebagai fungsi kontrol.


0 komentar:

Posting Komentar