Indonesia berpedoman pada negara demokrasi serta siapapun bebas mengaspirasikan pendapatnya. Kebebasan berpendapat merupakan hak dari setiap masyarakat
dalam mengutarakan pendapatnya mengenai kritik dan opini. Di indonesia
kebebasan berpendapat dan berserikat atau berkumpul ini pun sepenuh nya di
lindungi oleh pasal 28 UUD 45 yang berarti bahwa kita bebas mengutarakan
pendapat atau pun berkumpul/berserikat di negara kesatuan kita ini.
Seiring berjalannya waktu, perkembangan teknologi pada era globalisasi ini
menjadi media untuk mengemukakan aspirasi secara bebas dan terbuka dengan
berbagai cara tulisan maupun lisan dengan memanfaatkan media seperti jejaring
sosial, blog, millis dll seperti hal nya yang di utarakan oleh Thomas L
Friedman yang mengatakan bahwa dunia semakin datar dengan adanya teknologi
internet yang menyatukan seluruh orang didunia pada satu waktu yang sama, ini
berarti bahwa mengutarakan pendapat di dunia maya bebas dilakukan kapan saja,
dimana saja dan oleh siapa saja. Numun dengan kebebasan kita berpendapat dan
berekspresi di dunia maya akan serta merta bebas berekspresi tanpa batasan?
Tentu saja tidak. Negara indonesia selalu berpedoman pada asas
demokrasi dalam berpendapat dengan mengedepankan masyarakatnya untuk bebas
berorasi dan berpendapat khusus nya di era teknologi seperti ini dimana kebebasan
berpendapat di dunia maya sangat bebas. Dengan melihat tingkat
pertumbuhan internet dan akses kebebasan berpendapat, maka untuk mengatur
aturan main dalam berpendapat di dunia maya maka dikeluarkanlah sebuah
undang-undang informasi dan transaksi elektronik oleh pemerintah indonesia
yang sering kita sebut sebagai UU ITE.
Apa yang di maksut dengan UU ITE? UU ITE adalah suatu aturan
perundang-undangan yang berisi regulasi atau peraturan mengenai prilaku manusia
dalam penggunaan teknologi ( terutama teknologi komunikasi ). Dengan di
keluarkan nya UU ITE ini sebagian orang berpendapat bahwa ini merupakan sebuah
batasan dalam berpendapat khusus dalam pemanpaatan teknologi komunikasi,
seperti pada pasal 27 ayat 3 UU ITE yang menyebutkan bahwa “ Setiap Orang
dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau
membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang
memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik” terdapat
kerancuan dalam pasal ini mengingat pencemaran dalam konteks seperti apa yang
dapat di kategorikan melanggar pasal ini. Alih alih ingin mengutarakan
pendapat dan kritik terhadap seseorang, yang ada malah kita terjerat oleh pasal
ini. Bahkan dengan ada nya pasal penghinaan dan pencemaran UU ITE yang di
sah kan pada tahun 2008 ini, sering di manfaatkan pelapor untuk meredam upaya
kritis masyarakat yang mayoritas pelapor adalah orang-orang yang memiliki
keluasaan seperti politikus, polis pejabat daerah dll. Masih ingat dengan
kasus Prita Mulyani? Seorang ibu rumah tangga yang di penjarakan oleh Pihak
rumah sakit OMNI International Hospital tangerang hanya karena dia mengirimkan
surat elektronik mengenai pengaduan atas pelayanan rumah sakit tersebut.
Disini sudah tergambar jelas mengenai pembatasan bahkan menekan atas sikap
kritis masyarakat. Menurut Damar Juniarto dari Southeast Asia Freedom of
Expression Network (Safenet) dari 2008 hingga kini sudah sekitar 25 orang di
penjarakan akibat pasal pencemaran nama baik dalam undang-undang ITE
ini. Jadi bagaimana dengan landasan kebebasan berpendapat yang di atur
oleh undang-undang dasar negara tahun 1945 yang tertera pada pasal 28 mengenai
kebebasan berserikat dan berkumpul untuk mengeluarkan pendapat?
selain bertentangan dengan UUD 45 pasal 28, undang-undang
ITE pun UU ITE telah jelas tidak mengakui perhormatan, pemajuan, dan
perlindungan Hak Asasi Manusia, dan mengabaikan UU No 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang mewajibkan agar setiap materi
muatan peraturan perundang-undangan menceminkan perlindungan dan penghormatan
hak asasi manusia, ini sangat bertentanganssekali dengan maksut dan tujuan dari
UU ITE ini yaitu melindungi perdagangan dan transaksi elektronik, UU ITE ini
malah membatasi ruang berpendapat masayarakat dengan mencampuri hak-hak sipil
yang merupakan hak dasar manusia untuk berpendapat. Setidaknya ada
beberapa ketentuan dalam UU ITE yang berpotensi mengancam kebebasan
berpendapat diantaranya adalah pasal 27 ayat 1 mengenai kesusilaan,
27 ayat 3 mengenai pencemaran nama baik, 28 ayat 1 mengenai kebohongan berita
dan pasal 28 ayat 2 mengenai SARA.
Selain itu juga, Pasal 27 dan 28 UU ITE berpotensi
mengebiri pers karena berita pers dalam wujud informasi elektronik (di
internet), terkait dengan kasus-kasus korupsi, manipulasi dan sengketa, dapat
dinilai sebagai penyebaran pencemaran atau kebencian oelh UU ITE ini.
Karena semakin krusial nya perdebatan permasalahan kebebasan
antara hak dasar manusia dalam berpendapat menggunakan teknologi dengan
undang-undang yang mengatur kebebasan berpendapat itu sendiri, beberapa solusi
terbaik harus segera dapat di wujudkan guna terselesaikan nya kasus ini seperti
merevisi isi UU ITE dengan memuat ketentuan HAM dalam kebebasan berpendapat,
Menjelaskan hal-hal yang dianggap ambigu dalam UU ITE, UU ITE harus di revisi
dengan menegaskan bahwa UU ITE tidak di gunakan dalam kaitan berita di media
masa baik cetak maupun media online dan UU ITE harus di bawah UU PERS jika
terkait dalam masalah dan kasus penyiaran/pemberitaan. Dengan beberapa
solusi tersebut menjadikan suara kebebasan berpendapat rakyat indonesia dapat
terjaga tanpa harus takut terjerat dalam UU ITE sehingga sikap kritis masyarat
terhadap para pemimpin dapat terus meningkat. ( heru riswan : berbagai sumber )
0 komentar:
Posting Komentar